“Rasanya aku pengen ketemu Ona, meluk dia dan bilang, kamu jadi perempuan kok kuat banget. gImana sih caranya supaya jadi perempuan kuat kayak kamu?”, kata Dian Puspita, 15 tahun dari Ponorogo.
Ada banyak pendapat tentang Ona yang muncul saat peserta diskusi selesai menonton filmnya. Ada peserta yang mengaitkannya dengan pengalaman temannya yang juga menjadi korban kekerasan seksual. Peserta lain mengaitkannya dengan studi Ona. Ada juga peserta yang melihat perbedaan infrastruktur antara kota tempat tinggal mereka dan tempat tinggal Ona. Begitu beragam, tapi bagaimana cara pandang peserta tentang Ona sebagai korban kekerasan seksual?
Bicara tentang peserta kelas online ini, dari hasil pengamatan kami sejak sebelum pandemi, remaja-remaja ini bukan kelompok yang memiliki mobilitas sosial yang tinggi dan memiliki banyak kesempatan untuk melihat banyak cara pandang dan hidup yang berbeda. Pengetahuan mereka tentang dunia luar didapatkan dari media sosial di genggaman mereka, terutama melalui instagram, yang sebenar-benarnya sangat membutuhkan keahlian dan kemampuan penyaringan yang sangat baik agar dapat meningkatkan pengetahuan baru yang mereka butuhkan. Saat pandemi, intensitas remaja menggunakan media meningkat 3 kali lipat.
Sejak awal sampai akhir program Sebaya dilakukan (Sebaya adalah program induk dari kelas online ini yang dilakukan sejak sebelum pandemi), peserta didominasi oleh mereka yang memilih untuk menghadirkan diri dengan hijab meski sebenarnya banyak yang tidak menggunakannya dalam kehidupan kesehariannya. Tuntutan dari luar (orang tua, sekolah dan sekitar) membuat mereka menggunakannya. Pilihan ini tentu saja sangat kami hargai, akan tetapi identitas yang disematkan oleh orang sekitar juga tentunya berbarengan dengan penanaman nilai tentang apa yang baik atau tidak untuk mereka percayai dalam melihat dunia sekitar.
Untuk itu “Ona Between The Devil and The Deep Blue Sea” atau BTDTDBS yang disutradarai oleh Dwi Sujanti Nugraheni (Heni) kami hadirkan di tengah mereka. Karakter Ona yang tidak seperti mereka, cenderung bertolak belakang dengan konsep “anak baik-baik” menjadi eksperimen sosial yang dengan sadar kami lakukan. Kami mengenalkan Ona dalam kehidupan teman-teman peserta. Film BTDTDBS yang menggunakan pendekatan observasional dengan durasi pembuatan yang panjang (2,5 tahun) membuat kami cukup percaya diri dapat menjadi jendela untuk peserta kelas melihat dunia lain dari remaja perempuan yang sangat berbeda dan tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Film dokumenter yang baik terbukti bisa menjembatani perbedaan cara pandang dan mampu menempatkan penonton dalam posisi subjek film. Di sini peserta akan bertemu Ona yang sama-sama remaja perempuan sebaya yang dalam banyak hal memiliki kesamaan persoalan seperti pencarian identitas dan konflik yang mengikutinya.
Setelah menonton, peserta mendiskusikan film Ona dalam kelompok melalui zoom dan membuat surat untuk Ona. Di situ peserta berlatih menganalisa situasi Ona, memahami peristiwa kelam Ona sebagai korban kekerasan seksual dan membuat kesimpulan apa yang harus dilakukan bila mereka adalah sahabat Ona.
Selama proses itu para fasilitator yang menemani peserta di tiap kelompok memiliki kesamaan kesan atas reaksi peserta dalam melihat Ona, yaitu peserta juga tidak pernah benar-benar jauh dari pengalaman serupa. Kami melihat perubahan cara pandang dari peserta dalam melihat korban kekerasan, tidak ada lagi nuansa moral/agama yang menyalahkan Ona di tahapan ini. Peserta fokus pada usaha-usaha yang dilakukan Ona untuk meraih cita-citanya untuk lulus kuliah di tengah masa lalu kelamnya. Hal ini bisa terlihat dari Surat Untuk Ona yang mereka tulis.
Selain itu peserta juga dapat melihat hal penting dalam kasus KTD, yaitu memastikan apakah hubungan seks terjadi karena paksaan atau tidak. Dengan memahami hal tersebut, peserta sebagai teman sebaya dapat menentukan langkah berikutnya yang lebih tepat dalam mendukung teman yang mengalami persoalan yang serupa. Dalan kelas online sebelumya, peserta dijelaskan apa dan bagaimana consent.
Film Ona memegang peranan yang cukup besar hingga peserta bisa sampai tahap ini. Ona telah membantu teman sebayanya dalam memahami keberagaman dunia sesama perempuan. Terima kasih Ona.