Pada 21 April 2017, mulai banyak pemberitahuan yang masuk ke grup WhatsApp yang dibentuk tiga hari sebelum hari pelaksanaan acara Rembuk Remaja. Peserta mengirimkan foto-foto yang menginformasikan keberangkatan setiap remaja ke Bandung. Ada yang telah kehabisan tiket kereta dari Surabaya dan memutuskan naik bus, ada yang terjebak macet dari Jakarta ke Bandung, ada yang nyasar sampai ke Jatinangor, Sumedang, dan juga drama-drama perjalanan lainnya. Rasa lelah perjalanan yang dilalui tidak menyurutkan semangat 24 orang peserta untuk memulai aktivitas Rembuk Remaja yang diawali dengan games perkenalan. Canda tawa lepas dari wajah mereka. Semuanya bergembira dan aktif.
Rembuk Remaja yang diselenggarakan oleh Yayasan Kampung Halaman berkolaborasi dengan Bandung Creative City Forum (BCCF) menjadi ruang pertemuan remaja dari 19 komunitas untuk saling berbagi tentang aktivitas masing-masing sekaligus ruang belajar. Rembuk Remaja dimulai dengan memperkenalkan kegiatan dari masing-masing perwakilan komunitas, lalu dilanjutkan dengan sesi kelas diskusi interaktif bersama Kampung Halaman, Jatiwangi Art Factory (JAF), dan Pijaru.com. Pada hari kedua, peserta Rembuk Remaja membuat peta jaring laba-laba yang diperoleh setelah masing-masing membedah potensi, tantangan, dan usaha yang sudah dilakukan.
Cerita di Hari Pertama
Sesi perkenalan menjadi menyenangkan karena peserta memiliki cara unik saat bercerita. Keakraban mulai terbangun pada sesi ini. Selain menyimak, peserta juga mencatat cerita sebagai bahan diskusi bersama pada hari kedua.
“Selama 7 tahun, kita nggak punya markas, tapi kami punya markas berpindah. Selama ini pake rumahnya orangtua anak-anak. Kami membelah diri jadi perpustakaan dan taman bacaan,” cerita Wanti perwakilan dari komunitas Percisa, Tasikmalaya.
“Kami baru saja memproduksi drama radio, direkam sendiri oleh teman-teman tunet secara mandiri di gawai masing-masing, baru kemudian diedit,” ujar Fakhry dari IT Center For The Blind, Jakarta.
Usai perkenalan, Chandra, salah satu pendamping dari Kampung Halaman berbagi tentang lima prinsip Remaja Bermedia. Lima prinsip tersebut adalah Pengalaman Dekat, Penting dan Genting, Tujuan, Sikap, dan Bebas Merdeka. Kelima prinsip ini dapat diterapkan pada semua media, salah satunya video yang sering dibuat oleh remaja peserta.
Hilmi dari komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Salatiga, melontarkan pertanyaan tentang cara meriset. “Bisa nggak sih, bikin film bagus dengan riset yang mudah?”
“Mudah dan susah ini tergantung kaliannya. Tapi yang paling mudah itu harus sesuatu yang dekat dengan kita. Akan sangat susah kalau kalian menggali atau mengkaji sesuatu yang tidak dekat dengan kalian. Lebih mudahnya lagi, cari teman yang juga paham dan tertarik dengan hal yang kalian kaji,” ungkap Chandra menjelaskan.
Prinsip pengalaman dekat kemudian dieksplorasi pada sesi bersama Jatiwangi Art Factory. Rembuk Remaja ingin tahu bagaimana cara dan proses pengorganisasian masyarakat di lingkungan sekitar oleh teman-teman Jatiwangi. Yumaa dari Jatiwangi Art Factory (JAF) kemudian berbagi cerita tentang upaya yang mereka lakukan bersama membangun energi masyarakat Jatiwangi, tempat JAF lahir.
“Kami bersama-sama memahami masalah, yang kemudian dibalik jadi potensi,” tukas Yumma.
Langkah awal yang dilakukan oleh JAF adalah mengajak warga untuk terlibat dalam proyek melukis dapur bersama. Ada keraguan dari warga pada awalnya, tetapi JAF tetap terus meluncurkan strategi, salah satunya yaitu dengan residensi. JAF menghadirkan “orang asing” di tengah-tengah masyarakat untuk melakukan kegiatan bersama dan transfer pengetahuan/nilai. Resistensi yang muncul di permulaan berangsur-angsur hilang setelah ada rasa penasaran, kemudian perlahan-lahan masyarakat mulai mau terlibat.
“Bagaimana jika disuatu daerah tidak ada potensi dan tidak ada masalah?” pertanyaan dilontarkan oleh Jirjis dari Rumah Belajar Ilalang, Jepara. Yumma menggaris bawah kata ‘masalah’, kemudian menanggapi pertanyaan Jirjis.
“Itu masalahnya, harusnya itu menjadi energi. Justru kami tidak melihat asetnya terlebih dahulu, tapi masalah yang dihadapi. Masalah itu merangsang kita untuk berpikir. Kita membangkitkan hoax, romantisme, eh warga percaya lho dan jadi lebih menghargai tanahnya. Kita nggak punya apa-apa, bahkan sejarah aja dibikin,” jawab Yumma.
Yumma lantas memaparkan resep dapur JAF dalam pengorganisasian, yakni “10 Strategi Imunisasi Budaya”, yang di antaranya adalah menyebarkan virus kecerdasan berapresiasi, memupuk jejaring, dan menjadi organisasi organik yang kebal intervensi serta mandiri. Resep-resep tersebut dibuat agar aktivitas JAF melalui seni dapat masuk ke anatomi masyarakat yang paling dalam.
“Jangan takut bikin aturan sendiri, konsisten, banyak berjejaring, mempelajari peluang yang mengedepankan pertukaran nilai, tidak melulu uang,” pesan Yumma.
Malam harinya, peserta Rembuk Remaja menggelar kegiatan nonton bersama dan diskusi empat video pendek koleksi Pijaru dan Depot Video Kampung Halaman. Pijaru memutar video Surat Untuk Jakarta dan Terekam, sedangkan Kampung Halaman memutarkan video diary hasil program Jalan Remaja berjudul Main Towel dari XXX dan Beda Paham Toa Masjid dari Sabuk Cinema Purbalingga. Usai menonton, peserta berdiskusi dengan Pijaru dan KH tentang empat video tersebut. Pertanyaan yang muncul seputar proses pencarian ide, riset, dan menemukan tujuan dari produksi video tersebut.
Semakin Akrab pada Hari Kedua
Hari kedua Rembuk Remaja dibuka dengan sesi kelas diskusi interaktif bersama Pijaru. Pijaru memaparkan sebuah data bahwa di Indonesia ada 88,1 juta pengguna aktif internet yang 77%-nya menyaksikan video. Hal itu berarti pesan dalam video yang dibuat akan mudah diterima oleh penontonnya. Satu video yang dibedah adalah karya dari tim Pijaru.com berjudul Sehari Menjadi Fans JKT48 yang menceritakan rasa penasaran Mika tentang komunitas fans JKT48. Banyak orang yang telanjur berpikir aneh pada fans kelompok vokal JKT48 itu.
Setelah menonton, beberapa pertanyaan dilontarkan oleh teman-teman, seperti pertanyaan Khatami dari komunitas Ngejah tentang bagaimana membuat konsep video yang menarik perhatian, pembuatan naskahnya, dan lama risetnya. Echan, salah satu tim Pijaru mengatakan bahwa proses riset film Sehari Menjadi Fans JKT48 dilakukan selama satu bulan secara detail dan dalam.
Echan yang juga merupakan penulis skenario film Sehari Menjadi Fans JKT48 kemudian membagikan rumus untuk menceritakan komunitas dan hal-hal yang menurut teman-teman komunitas penting melalui video.
Pertama, dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan:
Seberapa jauh kamu kenal dengan komunitasmu? Seberapa penting komunitasmu? Apa yang perlu diceritakan? Lalu membuat list pertanyaan yang lebih banyak dan detail membantu proses penggalian ide cerita, ini disebut riset.
Kedua, mengikat ide-ide yang telah didapat menjadi satu sampai dua kalimat yang menjelaskan keseluruhan cerita, hal ini disebut premis.
Ketiga, Jika ide telah didapat, ceritakan dengan cara menulis dalam bentuk skenario.
Keempat, menulis skenario dengan struktur tiga babak, yaitu perkenalan, konflik, dan resolusi atau penyelesaian.
Kelima, selalu perhatikan apa yang didapatkan oleh penonton. Target siapa penontonnya, durasi, dan tentunya pesan yang ingin disampaikan.
Tim Pijaru juga bercerita tentang reaksi penonton setelah melihat video Sehari Menjadi Fans JKT48 di kanal Youtube Pijaru.com. Tidak sedikit komentar bernada positif seperti tujuan video ini dibuat. “Cara pandang gue terhadap seseorang langsung berubah setelah menonton film ini”, atau “Well, setuju banget sama pesan di video ini, jangan nilai buku dari covernya aja”.
“Selalu membuat penonton terlibat atau terhubung, didukung dengan penceritaan yang menarik, video bisa menyampaikan gagasan yang teman-teman ingin sampaikan,” pesan Echan sekaligus mengakhiri sesi.
Usai makan siang, sesi membuat Peta Jaring Laba-Laba dimulai dengan didampingi oleh Chandra dan Wucha dari Yayasan Kampung Halaman. Pada sesi ini, dibutuhkan waktu yang cukup panjang meski sejak hari sebelumnya hingga pada sesi ini, setiap komunitas telah mencatat apa yang menjadi potensi dan hambatan dari setiap komunitas. Banyak hal yang diungkapkan pada sesi ini, di antaranya tentang penerimaan orang tua terhadap aktivitas remaja di komunitas sampai cara-cara kreatif berkegiatan.
“Masih banyak orang tua yang nggak mendukung anaknya ikut kegiatan, dipikirnya tidak ada manfaat. Kami berusaha melibatkan warga dan orang tua-orang tua dalam beberapa kegiatan, namun tetap saja tidak bertahan lama,” ucap Diki dari Sanggar Anak Harapan, Jakarta.
“Menanamkan rasa memiliki di komunitas. Seperti pada saat peringatan 17 Agustus, Ngejah memecahkan rekor Muri dalam mengerek bendera merah putih melibatkan berbagai masyarakat dari banyak kalangan. Bukan hanya itu, pentas hiburan seperti baca puisi juga diisi oleh warga, dari tukang Ojek, Penjaja Makanan dan Pelajar,” ungkap Novia dari Komunitas Ngejah, Garut.
Sesi ini menghasilkan peta jaring laba-laba dengan mendaftarkan lima hal yang penting untuk diperhatikan oleh semua komunitas. Kelima hal tersebut adalah sebagai berikut.
- Dukungan Keluarga dan Lingkungan Sekitar
- Regenerasi
- Perencanaan Aktivitas
- Modal
- Jaringan
Peserta kemudian berdiskusi mencari solusi dan metode yang tepat untuk dilakukan oleh komunitasnya masing-masing. Seperti poin Jaringan, banyak hal menarik yang dilakukan oleh komunitas untuk memperluas jaringan mereka. Jaringan adalah salah satu modal untuk membuat komunitas dapat terus bergerak.
“Mengunjungi tempat lain atau event untuk bertemu orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama, sehingga mendapatkan jaringan,” ungkap Rosesynta.
Sesi Peta Jaring Laba-Laba membuat semua peseta termasuk fasilitator saling memahami, bagaimana setiap remaja menghadapi lingkungan mereka agar mereka dan aktivitas komunitas terus berjalan. Hal yang menarik dari 24 kawan remaja-remaja ini adalah mereka sadar bahwa generasi muda merupakan agen perubahan sosial, terutama di lingkungannya, serta menyadari modal utama adalah energi dan kreativitas. Sesi diskusi ini juga memperlihatkan aktifnya remaja saat berdiskusi dengan tetap saling menghormati saat ada perbedaan pendapat.
Malam harinya, kegiatan Rembuk Remaja ditutup dengan sesi Panggung Remaja oleh komunitas. Ada yang bernyanyi, ketoprak, tujuh menit belajar menari, dan penampilan menarik lainnya. Esok harinya, semua bersiap-siap untuk pulang. Ternyata ada beberapa komunitas yang telah berencana untuk saling berkolaborasi, seperti Nevin dari Sangkanparan, Cilacap yang akan mengisi workshop cukil di Sanggar Anak Harapan, Jakarta. Nevin ikut serta dengan teman-teman Sanggar Anak Harapan untuk melaksanakan misinya.
Hal ini adalah harapan kami setelah usai Rembuk Remaja. Jaringan adalah kata kunci dari kolaborasi. Sampai berjumpa lagi kawan-kawan. Selamat Berkolaborasi!
Catatan Rembuk Remaja Indonesia. Bandung 22—23 April 2017
Oleh : Wucha Wulandari