Empati dalam Kelas Online Love Myself to Love My Sister (LMSTLMS)

“Sebahagia ini, bisa mencintai diri sendiri tanpa dengerin omongan orang lain yang jelek-jelek tentang kita”, Agita, 19 tahun dari Klaten.

“Aku jadi bisa lebih enjoy sama hidupku karena aku hidup bukan dengan standar orang lain xixi”, Ais, 19 tahun dari Yogya.

Agita, Ais bersama 46 remaja perempuan yang tinggal di Yogyakarta, Klaten dan Ponorogo adalah peserta kelas online Love My Self To Love My Sister (LMSTLMS). Mereka mengikuti rangkaian kelas yang berlangsung selama 5 minggu mulai dari  31 Oktober – 28 November 2020. 

Love Myself to Love My Sister (LMSTLMS) adalah kelas online yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada remaja perempuan tentang pentingnya mengenali dan mencintai diri, berlatih mempraktekannya sebelum berbagi dengan orang lain. Tujuan jangka panjang LMSTLMS adalah menyiapkan peserta agar dapat berperan sebagai key influencer, yaitu teman bagi sebayanya, melengkapi kapasitas peserta yang sebelumnya telah belajar tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reporduksi terkait tema perencanaan masa depan bersama Kampung Halaman dan 3 orang dokter di bulan Mei 2020.

LMSTLMS adalah kerjasama Yayasan Kampung Halaman dengan Yayasan IPAS Indonesia. Kami berperan dalam membuat keseluruhan kegiatan ini, dimulai dari konsep, modul dan penyelenggaraannya dari awal sampai akhir. Untuk modul dan sesi yang berkaitan dengan psikologi remaja, kami bekerjasama dengan Wiloka, biro psikologi yang berperan sebagai mentor. Selain itu kami juga melibatkan para fasilitator remaja yang berpengalaman dalam mendampingi peserta.

Beberapa peserta bisa menggambarkan empati secara non verbal. Ini jarang terjadi atau dimiliki apalagi pada usia remaja. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa pilihan sikap tersebut adalah bentuk empati. Tapi ini menjadi menarik bahwa mereka memilih sikap tersebut ketika ada situasi sulit pada orang terdekat mereka.

— Mentor dari WILOKA

Salah satu tahap dalam kelas ini adalah tentang empati. Sebelum masuk materi tentang empati, peserta diminta untuk mengenali diri mereka dengan mengidentifikasi karakter mereka dan hal apa yang ingin mereka perbaiki. Banyak peserta mengidentifikasi dirinya sebagai pendengar curhatan teman-teman perempuan di sekitarnya. Hal ini mereka sadari sebagai bentuk kepekaan yang mereka miliki sejak kecil.

Namun karakter peduli dan peka ini juga seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang sekitarnya. Beberapa peserta menceritakan bahwa mereka seringkali tidak siap mendengar temannya curhat tapi tidak bisa untuk menolaknya. Untuk itu pada kelas empati, mentor membantu peserta untuk belajar meningkatkan kapasitasnya di level simpati  yang lebih didominasi oleh perasaan, menjadi empati yang lebih didominasi dengan logika dan pemikiran agar perasaan simpati ini dapat tersalurkan secara lebih sehat.

Para peserta mempraktekkan empati dengan berbagai metode yang dilakukan secara berkelompok dan individu. Kami menggunakan metode diskusi studi kasus, challenge di media sosial dan menonton film dokumenter berjudul ‘ Ona Between The Devil and The Blue Sea’ yang bercerita tentang remaja perempuan korban kekerasan seksual.

Tiap tahapan itu kami amati, mentor Wiloka berpendapat, “Beberapa peserta bisa menggambarkan empati secara non verbal. Ini jarang terjadi atau dimiliki apalagi pada usia remaja. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa pilihan sikap tersebut adalah bentuk empati. Tapi ini menjadi menarik bahwa mereka memilih sikap tersebut ketika ada situasi sulit pada orang terdekat mereka”.

Kelas empati ini memang kelas yang sangat dinamis karena ada sekian banyak peserta yang mengekspresikan sikap dan bentuk empati mereka yang berbeda-beda. Keragaman tersebut membuat kami semua menyadari bahwa empati memiliki bahasa yang begitu luas. Hal yang pasti kami dapatkan adalah para peserta semakin mengenali diri mereka dalam berempati, dari simpati menjadi empati, peduli tanpa melupakan diri sendiri.

SEBARKAN: