Gagasan-gagasan tentang anak muda dan perubahan sosial acapkali kita dengar lewat berbagai media maupun dalam kehidupan sehari-hari. Anak muda dengan semangat, potensi dan daya kreatifitasnya dipandang sebagai motor penggerak zaman serta agen untuk perubahan yang lebih baik di masyarakat kita. Dalam konteks perkembangan masyarakat sipil, perubahan sosial merupakan aspek penting terkait proses transformasi menuju masyarakat madani. Sebuah tatanan kehidupan bersama, dimana manusianya adab dalam membangun, menjalani dan menghayati nilai-nilai luhur. Ini berarti anak muda memegang peran kunci keberlangsungan usaha untuk mencapai cita-cita mulia tersebut.
Namun, sejauh mana harapan besar ini dimaknai, sekaligus dialami oleh anak muda Indonesia dalam keseharian mereka saat ini? Mengambil peran sebagai fasilitator remaja, kami mendengar banyak cerita keseharian mereka. Pertemuan kami, khususnya lewat rangkaian kegiatan Rembuk Remaja1, dengan puluhan anak muda dari wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat memberi banyak masukan tentang realitas yang mereka hadapi; baik peluang maupun persoalan untuk membawa perubahan di sekitarnya. Secara umum, para anak muda ini menerjemahkan peran untuk perubahan sosial pertama-tama lewat kepekaan dan kepedulian akan persoalan yang terjadi di sekitarnya. Arif, 22 tahun, pemuda asal Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan menceritakan bahwa motivasinya untuk bergabung aktif dalam kegiatan pertanian organik di Komunitas Sahabat Alam (Kosalam) didasarkan pada realita tingginya tingkat pengangguran pemuda di daerahnya. “Daerah Maros memiliki potensi pertanian yang sangat besar, saya ingin bisa mengembangkan produk-produk pertanian secara kreatif, agar memiliki nilai ekonomi lebih bagi komunitas”. Lain lagi dengan Desy, 21 tahun, seorang mahasiswi dan sukarelawan pengajar dari Komunitas Pendidikan Anak Sungai Deli (Kopasude). Bantaran sungai Deli Serdang di kota Medan ini merupakan area kaum miskin kota yang identik dengan lokasi tempat tinggal pelaku kriminal dan transaksi jual beli narkoba. “Saya ingin memastikan anak-anak yang hidup di bantaran sungai ini bisa memperoleh pendidikan meskipun tinggal di daerah kumuh,” imbuhnya. Faktor kepedulian menjadi modal utama beragam aktivitas sosial yang diusung remaja dan komunitasnya.
Berbagai inisiatif kegiatan ini berjalan bukannya tanpa hambatan. Dalam dinamika proses Rembuk Remaja, sebagian besar peserta menyampaikan kurangnya dukungan atas inisiatif mereka sebagai salah satu masalah utama yang dihadapi. Dukungan yang dimaksud disini bisa berupa akses ke kepercayaan, sensitivitas isu, ruang-ruang eksplorasi sampai ke masalah perizinan dari orang tua dan akses pada sumber dana atau fasilitas. Yani, 19 tahun, fasilitator sebaya untuk remaja dari Nusa Tenggara Timur mengatakan, “Isu kesehatan reproduksi remaja itu masih tabu untuk dibicarakan di masyarakat. Orang dewasa tidak selalu mengizinkan anak mereka tahu soal ini. Tidak mungkin saya bicara kepada remaja soal masalah ini tanpa tergabung ke lembaga tertentu. Padahal peran teman sebaya dalam isu ini sangat penting, namun seringkali pengetahuan mereka terbatas atau tidak tepat.”
Lebih jauh lagi, kami menemukan perbedaan yang cukup besar terkait optimisme menggalang dukungan eksternal di mata remaja yang komunitasnya terafiliasi atau dibentuk oleh pemerintah maupun lembaga yang lebih mapan, dengan remaja perwakilan komunitas yang diinisiasi secara organik. Kafka, 21 tahun, pegiat isu-isu urban di kota Medan lewat majalah kolekfif bernama Degil Zine mengatakan, “Saya cukup terkejut mendengar betapa mudahnya beberapa komunitas di acara Rembuk Remaja ini untuk memasukkan proposal ke dinas-dinas dan disetujui. Kalau komunitas saya sih sudah pasti ditolak.” Atau Hendri, 19 tahun, seorang mahasiswa pecinta alam dari kota Palu berbagi, “Seringkali saya jadi sukarelawan di acara-acara sosial yang diadakan pemerintah. Saya ingin belajar berorganisasi . Tapi seringkali begitu acara selesai ya sudah, jadi cuma tenaga saya saja yang diperlukan.”
Permasalahan lain yang dihadapi para anak muda ini terkait dengan kapasitas individu maupun komunitasnya dalam merencanakan dan mengelola berbagai inisiatif kegiatan. Sebagian besar aktivitas yang diusung remaja bersama komunitasnya berbasis acara tunggal atau bersifat jangka pendek. Lebih jauh lagi, kami juga menemukan minimnya pemahaman remaja dan komunitasnya akan prinsip pengorganisasian maupun pengelolaan kegiatan yang memiliki dampak sosial. Hal ini berpengaruh pada dinamika dalam komunitas dan sejauh mana tujuan aksi yang mereka usung tercapai. Eka, 21 tahun, dari Sikola Cendekia Pesisir menyampaikan, “Kami ingin membuka akses pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak di pulau-pulau terluar Sulawesi Selatan. Tapi terkadang kami merasa aksi kami ini tidak efektif karena sulit sekali menjaring partisipasi mereka di kegiatan-kegiatan yang kami adakan.” Selain itu, target capaian kegiatan yang kurang realistis dan tidak spesifik seringkali membuat remaja menyerah ketika hal-hal tersebut tidak terpenuhi dan sulit dievaluasi. Hal ini lalu berpengaruh pada keberlanjutan aksi dan tujuan kegiatan yang menjadi misi komunitas mereka.
Perkara regenerasi dalam komunitas menjadi isu yang muncul di ketiga lokasi Rembuk Remaja. Kerapkali, komunitas remaja menemui kesulitan untuk meneruskan visi misinya ketika sang inisiator maupun pendiri tidak lagi terlibat dalam dinamika di komunitas. Tantangan lain juga terkait sulitnya menjaga komitmen anggota atas inisiatif kegiatan yang telah disusun bersama. Kami mendapati, di balik beragam ikhtiar dan gagasan yang hendak diwujudkan anak muda bersama komunitasnya, sebenarnya ada kebutuhan yang lebih mendasar terkait proses-proses pembentukan identitas dan pencarian jati diri mereka. Para anak muda ini berharap dinamika berkomunitas mampu memberi ruang dalam menjalani fase ini. Sayangnya, tidak semua komunitas remaja mampu membangun daya sokong atas nilai dan idealismenya, entah karena ketergantungan pada satu dua sosok tertentu, atau karena stagnasi dalam dinamikanya. Ketika keterlibatan anak muda di komunitasnya kering dalam pemaknaan, maka proses-proses regenerasi akan sulit dilakukan.
Temuan-temuan ini membuat kami berefleksi akan situasi yang dihadapi anak muda Indonesia saat ini. Sebagai remaja, lika-liku proses pencarian jati diri adalah perubahan pertama yang harus mereka hadapi. Hal ini perlu dipahami sebagaimana perubahan sosial pun selalu diawali lewat perubahan individu dari setiap penggeraknya. Hal-hal inilah yang seringkali luput dari perhatian kita. Menjadi remaja di Indonesia saat ini seperti berada di tengah pusaran peluang sekaligus tantangan. Bukan berarti dengan semakin terbukanya ruang-ruang kebebasan berekspresi dan akses informasi saat ini, anak muda secara otomatis mampu memilah, menentukan dan melakoni arah perubahan yang mau ia jalani. Anak muda adalah bagian dari struktur dan pola-pola relasi sosial yang seringkali terpinggirkan dan kurang terfasilitasi. Oleh karena itu, dinamika komunitas remaja dan segala aksinya perlu dipandang baik sebagai sebuah inisiatif maupun proses pembentukan identitas para remaja yang terlibat di dalamnya. Seringkali, pembentukan identitas remaja lebih menentukan sejauh mana nantinya ia memiliki daya untuk berkontribusi pada lingkungannya saat dewasa. Namun sayangnya, aspek ini seringkali terabaikan sebagaimana terindikasi dalam temuan-temuan kami.
Kami memandang perlunya proses yang bersinambung untuk memetakan karakter gerakan dan kebutuhan remaja Indonesia agar dapat memahami dinamika maupun tantangan yang mereka hadapi dari waktu ke waktu. Dari situ, bukanlah tidak mungkin untuk memikirkan strategi pada level kebijakan untuk menjaring dan memfasilitasi potensi 632 juta remaja Indonesia. Di Inggris misalnya, manfaat aksi sosial untuk pengembangan karakter remaja telah direkognisi dalam kebijakan pemerintah, baik dalam konteks aktivitas formal maupun informal3. Aksi sosial untuk pengembangan karakter remaja tersebut merupakan program jangka panjang selama 7 tahun, dikerjakan secara gotong royong oleh berbagai pihak yaitu pemerintah, kerajaan Inggris, sekolah formal-non formal, universitas, organisasi profit maupun organisasi non-profit, serta dievaluasi secara berkala. Di dalamnya, diadopsi prinsip-prinsip dasar berdasarkan hasil riset untuk memfasilitasi aksi sosial anak muda yang berkualitas. Prinsip-prinsip ini antara lain:
- Aksi sosial remaja haruslah memberi ruang refleksi kritis yang membuat anak muda merasa aman untuk belajar dari keberhasilan maupun kegagalannya.
- Aksi juga harus cukup memberi tantangan bagi kreatifitas dan gagasan khas anak muda, mendorong perilaku kesukarelawanan menjadi sebuah kebiasaan hidup
- Aksi yang dipilih anak muda bersifat berkelanjutan, pilihan aksinya membuka akses pada kesempatan dan jalur pilihan hidupnya di masa depan, seperti pekerjaan atau pendidikan.
- Aksi dapat diinisiasi atau dimulai oleh anak muda itu sendiri, dimana orang dewasa turut mendampingi.
- Dan aksi sosial memiliki dampak sosial yang terpetakan.
Tujuan besar mereka adalah menciptakan masyarakat yang anak mudanya dapat berkontribusi secara luas, maksimal serta dihargai. Masyarakat yang didalamnya mampu bekerjasama untuk mendukung anak mudanya. Masyarakat yang di tahun 2020 memiliki kebiasaan hidup untuk membantu orang lain yang nantinya akan memacu perubahan positif lainnya. Harapan yang sama kami mimpikan untuk Indonesia.
Sejak tahun 2006, Yayasan Kampung Halaman telah merayakan Hari Remaja Internasional yang jatuh setiap tanggal 12 Agustus bersama ribuan remaja dari berbagai pelosok Indonesia. Saat ini, paling tidak terdapat 200 komunitas remaja dari daerah rural, urban dan transisi yang aktif bergerak di berbagai isu tercatat dalam database kami. Perayaan ini sejatinya dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesadaran kalangan luas akan isu-isu kunci yang dihadapi remaja secara global. Tahun ini, tema yang diusung adalah “Safe Space for The Youth” atau Ruang Aman Bagi Remaja. Tema global ini sangat relevan pada isu yang dihadapi remaja Indonesia saat ini yaitu kebutuhan akan ruang dan kesempatan untuk bisa berkembang penuh dengan segala potensinya. Di belahan dunia manapun, remaja membutuhkan ruang aman dimana mereka dapat berkumpul, terlibat dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan minat maupun kebutuhan mereka.
Ketika ditanya apa yang membuatnya memutuskan kembali ke Kabupaten Pakpak Bharat untuk memulai usaha pertanian dan menginisiasi perpustakaan di desanya, Marolop, 24 tahun, peserta Rembuk Remaja di Medan menyampaikan, “Di kota saya memang bekerja, namun seringkali saya merasa belum bisa memberi manfaat nyata bagi sekitar saya. Pilihan yang tidak mudah tentunya, terkadang saya merasa sendirian dan tidak sedikit yang meremehkan. Saya tidak tahu sampai kapan dan bagaimana perpustakaan desa ini bisa saya pertahankan.”
Kami di Kampung Halaman memiliki imajinasi tentang Indonesia, dimana nyala ide oleh anak muda seperti Marolop dapat menemukan ruang dukung agar tidak meredup, namun terus menyala, berkobar dan menghidupkan inisiatif lainnya. Ruang dimana anak muda didengarkan dan dihargai usahanya oleh orang dewasa, punya kebebasan memilih dan belajar bertanggung jawab, ditemani ketika mengalami proses jatuh bangun untuk menemukan makna dirinya, dan pada akhirnya berkembang utuh sebagai sebuah pribadi maupun bagian dari masyarakat. Enam puluh tiga juta remaja Indonesia bukanlah generasi ‘baperan’4 yang tidak berdaya. Mereka ada dan siap untuk mengambil peran sebagai pemBAwa PERubahan jika ruang-ruang ini mau kita ciptakan dan rawat bersama. Ini demi sebuah alasan yang juga ditegaskan oleh Marolop, “Dengan apa yang saya punya; tenaga, ilmu dan ide, saya ingin bisa melakukan sesuatu yang punya arti. Apalagi yang bisa kita banggakan sebagai jati diri anak muda, jika bukan manfaat untuk sesama?”
Referensi
- Raviola, M. Typology of Contemporary Indonesian Youth Organizations. Pamflet, 2013.
- Ramadan, A. S. Youth Policies in Indonesia. Activating the role of youth. Pamflet, 2013.
- Undang-Undang Kepemudaan no 40 tahun 2009
- Step up to Serve. Raising the Quality of Youth Social Action. Diunduh dari http://79.170.40.35/iwill.co.uk/?wpdmdl=7917
Notes
1 Rembuk Remaja adalah program yang dijalankan Yayasan Kampung Halaman dalam rentang tahun 2017-2018 di tiga kota, yaitu Bandung, Makassar dan Medan. Kegiatan ini mempertemukan total 60 remaja berusia 16-24 yang mewakili komunitasnya, untuk belajar merancang aktivitas yang memilki dampak sosial dan berkolaborasi.
2 Data statistik Kepemudaan, Biro Pusat Statistik Indonesia tahun 2017.
3 https://www.gov.uk/government/news/step-up-to-serve-making-it-easier-for-young-people-to-help-others
4 Idiom anak muda, akronim dari ‘bawa perasaan’ yang berkonotasi ketidakdewasaan, mudah dipicu ketidak stabilan emosinya karena hal-hal kecil