Sejarah Yayasan Kampung Halaman

Pada 2002—2005, saat saya mengembangkan program pendidikan film dokumenter Indonesia di lembaga tempat saya bekerja sebelum mendirikan Kampung Halaman, saya bertemu seorang anak muda bernama Wanto dari komunitas Sedulur Sikep, Pati, yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai komunitas Samin. Wanto menjadi salah satu kolaborator dalam program lokakarya untuk anak muda yang ingin menggunakan media film dokumenter agar publik dapat memahami persoalan yang selama ini dihadapi oleh beragam komunitas di Indonesia yang kurang terdengar dan terpublikasikan. Bersama seorang peneliti muda, mereka berkolaborasi dengan saudara-saudara Sedulur Sikep yang saat itu sedang memiliki hambatan untuk mendapatkan hak mereka sebagai warga negara.

Komunitas Sedulur Sikep, sebagai penganut keyakinan, seperti juga penganut keyakinan lain di Indonesia yang jumlahnya mencapai kurang lebih 2 juta orang (data BPS 2010), belum mendapat pengakuan secara administratif kewarganegaraan dalam Kartu Identitas Penduduk (KTP). Dari proses bekerja bersama Wanto dan Sedulur Sikep dalam membuat film yang kami beri judul Kulo Nduko Sami ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan baru tentang fungsi dan cara produksi medium film saat kamera dipegang oleh warga biasa. Bukan mereka yang mendalami film ataupun bercita-cita sebagai pembuat film profesional. Proses yang melibatkan hampir seluruh anggota komunitas menentukan tujuan bersama tentang apa yang ingin dibunyikan melalui film ini.

Proses produksi berjalan secara partisipatif dan kolaboratif. Keterlibatan bukan hanya menjadi milik pembuat film, melainkan juga anggota komunitas lain yang merasa terwakili melalui film ini. Pemahaman akan fungsi media sebagai alat kampanye tidak lagi menjadi eksklusif miliki pembuat film. Pemutaran juga menjadi bagian dari kerja-kerja komunitas dalam menyatukan gagasan dan gerakan mereka dalam melindungi alam tempat mereka tinggal yang kemudian pada tahun-tahun berikutnya menjadi lahan yang terancam tereksploitasi oleh korporat. Anak-anak muda mengambil peranan penting dalam memanfaatkan media dan teknologi di sini. Pada saat yang sama, proses regenerasi dalam komunitas juga berjalan bertahap karena riset selalu menjadi bagian dari proses produksi media berbasis komunitas.

Memang bukan proses yang mudah, tetapi proses ini membuka mata saya tentang bagaimana medium film benar-benar dapat berfungsi di tengah komunitas. Komunitas yang memiliki persoalan secara sadar memilih dan mengurasi apa yang penting untuk mereka komunikasikan kepada masyarakat luas. Dokumenter. Saya melihat sendiri kekuatan film ini ketika kemudian didiskusikan dan diputarkan di berbagai komunitas dan ruang publik.

Taruna Reka, Lab Komunitas pertama
Taruna Reka, Lab Komunitas pertama Kampung Halaman.

Pada 2005, saya mengajak seorang sahabat, Zamzam Fauzanafi, yang sedang melanjutkan pendidikan masternya di Inggris untuk mendiskusikan tentang gagasan Kampung Halaman, sebuah tempat untuk remaja dan anak muda belajar memahami potensi dan persoalan di lingkungan tempat mereka tinggal melalui media. Harapannya, remaja dapat belajar mengenai identitas dan komunitas asalnya, sehingga dapat tumbuh kecintaan untuk hidup dan berkontribusi secara aktif di dalamnya. Pada tahun itu juga, saya banyak berdiskusi dengan guru-guru saya selama ini seperti Toto Rahardjo, Roem Topatimasang, dan Abduh Azis.

Pada 2006, Kampung Halaman berdiri dengan support awal dan kepercayaan dari Ford Foundation. Cita-cita saya sederhana saat itu, yakni saya ingin Kampung Halaman tidak menjadi lembaga yang terlalu besar, tetapi fokus dan berkelanjutan. Kami ingin fokus pada remaja yang selama ini kurang mendapat tempat di media agar suaranya dapat didengar dengan kemampuan mereka sendiri. Kemudian saya bertemu dengan Cicilia Maharani yang kemudian menjadi partner sehari-hari dan mulai memikirkan cara kami untuk memulainya. Saat itu, kami mulai memikirkan metode untuk dapat mendekati remaja Indonesia secara personal, tetapi di saat yang sama juga mampu menyuarakan persoalan sekaligus potensi mereka yang beragam. Beruntung, kami akhirnya mendapat kesempatan pertama untuk berkenalan dan menguji coba metode ini dari Riri Riza dan British Council melalui Workshop Multikultur di lima kota besar di Indonesia. Sejak saat itu, metode Video Diary kami kembangkan dan terus dimanfaatkan oleh berbagai lembaga nasional dan internasional yang ingin bekerja dengan anak dan remaja dalam berbagai programnya.

Pada awal 2006, kami memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta, mendekati laboratorium komunitas pertama kami di Dusun Karang Ploso, Piyungan, Bantul, yakni sebuah dusun yang terkena gempa besar Yogya pada akhir 2005. Zamzam saat itu sudah kembali ke Indonesia dan bergabung dalam program. Kami sadar bahwa media tidak serta merta dapat menyelesaikan persoalan. Dibutuhkan lebih dari kemampuan membuat film untuk memperkuat peran remaja di komunitasnya, yang merupakan cita-cita dan visi misi Kampung Halaman. Pengorganisasian menjadi kerja utama kami di kampung bersama remaja di laboratorium komunitas yang kemudian berkembang hingga ke Tasikmalaya, Bantul, Bali, Ponorogo, dan lain-lain. Media Center Remaja menjadi rumah dari remaja-remaja yang kami dampingi. Selain riset dan bermedia, kami sama-sama belajar mengenai pertanian, wirausaha, berkebun, mengelola perpustakaan, seni tradisi, membuat pemutaran, dan diskusi film komunitas secara reguler. Akan tetapi, dari semua aktivitas tersebut selalu ada benang merah yang dikawinkan melalui media berbasis komunitas yang diproduksi oleh kelompok-kelompok remaja yang kami dampingi. Metodenya dengan riset sederhana, bekerja sama dengan semua anggota komunitas mulai dari teman sebaya, orang tua, sampai dengan pemerintahan setempat. Selain itu juga berdialog untuk membuat rancangan aksi sebagai bagian dari upaya memecahkan persoalan yang mereka hadapi bersama di dalam komunitas. Membuat kehidupan di dalam komunitas menjadi lebih baik dan mengantisipasi banyak hal yang akan berpotensi mengubah kondisi kehidupan mereka di masa depan.

Kampung Halaman terus berkembang dalam 10 tahun setelah generasi pendiri seperti saya sendiri, Zamzam Fauzanafi, Cicilia Maharani, Eko Harsoselanto, dan Elanvito. Saat ini, Kampung Halaman telah memiliki empat generasi dalam usianya yang ke-10 tahun. Mereka yang dulu adalah remaja-remaja dampingan di berbagai program, saat ini telah menjadi bagian dari pelaksana program harian. Berbagai cara dan metode terus dikembangkan mengikuti kebutuhan remaja-remaja yang kami temani di berbagai tempat di Indonesia. Semuanya untuk satu tujuan, yaitu memperkuat peran remaja di komunitas tempat mereka tinggal, serta menjadi tuan rumah di Kampung Halamannya, juga berdaya dan kritis kepada diri sendiri dan sekitarnya.

Dian Herdiany

SEBARKAN: